Sekolah menurut KBBI berarti
"bangunan atau lembaga untuk belajar dan mengajar serta tempat menerima
dan memberi pelajaran". Sedangkan dalam proses belajar dan mengajar
tentunya memiliki maksud untuk mengembangkan ilmu pengetahuan. Dengan
demikian sekolah memiliki fungsi untuk menimba dan mengembangkan ilmu
pengetahuan baik ilmu akademik maupun ilmu nonakademik.
Sebagai seorang pelajar SMA,
penulis tentunya juga telah mengenyam pendidikan formal di sekolah
selama tidak kurang dari 10 tahun. Banyak pengalaman yang telah dialami
penulis dalam hal ini. Terkadang penulis merasakan bahwa dunia
pendidikan ini tidak menyenangkan. Permana Putra, Solihin : 2009 dalam
artikelnya yang berjudul Cara Belajar Individu mengatakan bahwa "Mengapa
anak-anak tersebut tidak kunjung-kunjung pintar? Salah satu faktor
yang dapat menjadi penyebabnya adalah ketidaksesuaian cara belajar yang
dimiliki oleh sang anak dengan metode belajar yang diterapkan dalam
pendidikan yang dijalaninya."
Dari kutipan Solihin di atas
menunjukan bahwa metode yang diterapkan pada dunia pendidikan yang
dialami penulis menemuikan ketidak sesuaian. Ketidak sesuaian ini
sesungguhnya dapat di cium gelagatnya secara nyata akan tetapi kurang
mendapat tanggapan khusus karena tingkat kesadaran yang rendah.
Penulis menyoroti sistem
penmberian nilai di sekolah yang cenderung menimbulkan presepsi pada
siswa bahwa nilai adalah segalanya. Memang mendapatkan nilai yang tinggi
adalah impian setiap siswa. Banyak siswa yang beranggapan bahwa dengan
nilai yang bagus akan mempermudah segalanya. Seperti dari hal kecil
yaitu mendapat popularitas hingga hal yang besar yaitu untuk meraih masa
depan yang cerah. Akibatnya praktek kecurangan dalam dunia
pendidikanpun menyertai bagaikan pengantin. Ironisnya kecurangan demi
kecurangan yang terjadi dianggap sebagai fenomena yang wajar. Korupsi
kolusi dan nepotisme dalam dunia pendidikan pun tak dapat dielakan.
Kesalahan presepsi siswa
terhadap arti sebuah nilai juga semakin menjadi-jadi ketika metode yang
diberikan oleh dewan pengajar kurang pas. Beberapa dewan pengajar
kertadang hanya melihat dari segi kuantitasnya saja tanpa menimbang
lebih jauh segi kualitas. Contoh kongkritnya saja ketika seorang guru
menilai catatan siswa siswinya. Ketika itu seorang guru tentunya akan
memberi nilai lebih pada siswa yang memiliki hasil catatan yang lengkap,
rapi, dan menarik dibandingkan nilai siswa dengan hasil catatan yang
biasa saja bahkan kurang lengkap. Kesimpulan yang dapat diambil dari
peristiwa ini adalah beberapa dewan pengajar belum menelisik cara
belajar individu masing - masing siswanya. Apakah siswa yang memiliki
catatan lengkap lebih pintar dengan yang memiliki catatan kurang
lengkap? Apakah pemilik nilai 90 lebih potensial dari pada pemilik nilai
65? Belum tentu bukan?.
Problematika dunia pendidikan
ini akan berakibat fatal ketika kita nenginjak era globalisasi. Kelak
untuk mendapat kesuksesan kita akan mendapat sebuah pertanyaan "Seberapa kemampuanmu?" bukan "Seberapa nilaimu?" karena kemampuan individu melukiskan sebuah nilai, kan tetapi nilai suatu individu belum tentu melukiskan kemampuannya.
Jadi apa gunanya sekolah dengan
biaya yang mahal apabila hanya nenuntut nilai. Perilaku ini hanya akan
menghancurkan kita di era yang akan datang. Oleh karena itu dalam
menuntut ilmu hendaknya dihayati dengan hati agar berguna bagi diri
sendir dan orang lain.